Pages

Ads 468x60px

Minggu, 12 Oktober 2014

sejarah kota Pamekasan


SEJARAH KOTA PAMEKASAN
MADURA
(by: Rohman Afandi) 
 
Kabupaten Pamekasan adalah sebuah kabupaten di Pulau Madura , Provinsi Jawa Timur , Indonesia . Ibukotanya adalah Pamekasan . Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Madura di selatan, Kabupaten Sampang di barat, dan Kabupaten Sumenep di timur.
Kabupaten Pamekasan terdiri atas 13 kecamatan , yang dibagi lagi atas 178 desa dan 11 kelurahan . Pusat pemerintahannya ada di Kecamatan Pamekasan . Sejarah Kemunculan sejarah pemerintahan local Pamekasan, diperkirakan baru diketahui sejak pertengahan abad ke-15 berdasarkan sumber sejarah tentang lahirnya mitos atau legenda Aryo Menak Sunoyo yang mulai merintis pemerintahan lokal di daerah Proppo atau Parupuk. Jauh sebelum munculnya legenda ini, keberadaan Pamekasan tidak banyak dibicarakan.
Diperkirakan, Pamekasan merupakan bagian dari pemerintahan Madura di Sumenep yang telah berdiri sejak pengangkatan Arya Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268 oleh Kertanegara. Kabupaten Pamekasan lahir dari proses sejarah yang cukup panjang. Istilah Pamekasan sendiri baru dikenal pada sepertiga abad ke-16, ketika Ronggosukowati mulai memindahkan pusat pemerintahan dari Kraton Labangan Daja  ke Kraton Mandilara s. Memang belum cukup bukti tertulis yang menyebutkan proses perpindahan pusat pemerintahan sehingga terjadi perubahan nama wilayah ini. Begitu juga munculnya sejarah pemerintahan di Pamekasan sangat jarang ditemukan bukti-bukti tertulis apalagi prasasti yang menjelaskan tentang kapan dan bagaimana keberadaannya.
Jika pemerintahan lokal Pamekasan lahir pada abad 15, tidak dapat disangkal bahwa kabupaten ini lahir pada jaman kegelapan Majapahit yaitu pada saat daerah-daerah pesisir di wilayah kekuasaan Majapahit mulai merintis berdirinya pemerintahan sendiri. Berkaitan dengan sejarah kegelapan Majapahit tentu tidak bisa dipungkiri tentang kemiskinan data sejarah karena di Majapahit sendiri telah sibuk dengan upaya mempertahankan bekas wilayah pemerintahannya yang sangat besar, apalagi saat itu sastrawan-sastrawan terkenal setingkat Mpu Prapanca dan Mpu Tantular tidak banyak menghasilkan karya sastra. Sedangkan pada kehidupan masyarakat Madura sendiri, nampaknya lebih berkembang sastra lisan dibandingkan dengan sastra tulis Graaf (2001) menulis bahwa orang Madura tidak mempunyai sejarah tertulis dalam bahasa sendiri mengenai raja-raja pribumi pada zaman pra-islam.
Tulisan-tulisan yang kemudian mulai diperkenalkan sejarah pemerintahan Pamekasan
ini pada awalnya lebih banyak ditulis oleh penulis Belanda sehingga banyak menggunakan Bahasa Belanda dan kemudian mulai diterjemahkan atau ditulis kembali oleh sejarawan Madura, seperti Zainal fatah ataupun Abdurrahman. Memang masih ada bukti-bukti tertulis lainnya yang berkembang di masyarakat, seperti tulisan pada daun lontar atau Layang Madura, namun demikian tulisan pada layang inipun lebih banyak menceritakan sejarah kehidupan para Nabi (Rasul) dan sahabatnya, termasuk juga ajaran-ajaran agama sebagai salah satu sumber pelajaran agama bagi masyarakat luas. Masa pencerahan sejarah lokal Pamekasan mulai terungkap sekitar paruh kedua abad ke-16, ketika pengaruh Mataram mulai masuk di Madura, terlebih lagi ketika Ronggosukowati mulai mereformasi pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya. Bahkan, raja ini disebut-sebut sebagai raja Pertama di Pamekasan yang secara terang-terangan mulai mengembangkan Agama Islam di kraton dan rakyatnya. Hal ini diperkuat dengan pembuatan jalan Se Jimat, yaitu jalan- jalan di Alun-alun kota Pamekasan dan mendirikan Masjid Jamik Pamekasan. Namun demikian, sampai saat ini masih belum bisa diketemukan adanya inskripsi ataupun prasasti pada beberapa situs peninggalannya untuk menentukan kepastian tanggal dan bulan pada saat pertama kali ia memerintah Pamekasan. Bahkan zaman pemerintahan Ronggosukowati mulai dikenal sejak berkembangnya legenda kyai Joko Piturun, pusaka andalan Ronggosukowati yang diceritakan mampu membunuh Pangeran Lemah Duwur dari Aresbaya melalui peristiwa mimpi. Padahal temuan ini sangat penting karena dianggap memiliki nilai sejarah untuk menentukan Hari Jadi Kota Pamekasan.
Terungkapnya sejarah pemerintahan di Pamekasan semakin ada titik terang setelah berhasilnya invansi Mataram ke Madura dan merintis pemerintahan lokal dibawah pengawasan Mataram. Hal ini dikisahkan dalam beberapa karya tulis seperti Babad Mataram dan Sejarah Dalem serta telah adanya beberapa penelitian sejarah oleh Sarjana barat yang lebih banyak dikaitkan dengan perkembangan sosial dan agama, khususnya perkembangan Islam di Pulau Jawa dan Madura, seperti Graaf dan TH. Pigeaud tentang kerajaan Islam pertama di Jawa dan Benda tentang Matahari Terbit dan Bulan Sabit, termasuk juga beberapa karya penelitian lainnya yang menceritakan sejarah Madura. Masa-masa berikutnya yaitu masa-masa yang lebih cerahsebab telah banyak tulisan berupa hasil penelitian yang didasarkan pada tulisan-tulisan sejarah Madura termasuk Pamekasan dari segi pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan agama, mulai dari masuknya pengaruh Mataram khususnya dalam pemerintahan Madura Barat (Bangkalan dan Pamekasan), masa campur tangan pemerintahan Belanda yang sempat menimbulkan pro dan kontra bagi para Penguasa Madura, dan menimbulkan peperangan Pangeran Trunojoyo dan Ke’ Lesap, dan terakhir pada saat terjadinya pemerintahan kolonial Belanda di Madura.
Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda inilah, nampaknya Pamekasan untuk perkembangan politik nasional tidak menguntungkan, tetapi disisi lain, para penguasa Pamekasan seperti diibaratkan pada pepatah Buppa’, Babu’, Guru, Rato telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintahan Kolonial untuk kerentanan politiknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya penguasa Madura yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memadamkan beberapa pemberontakan di Nusantara yang dianggap merugikan pemerintahan kolonial dan penggunaan tenaga kerja Madura untuk kepentingan perkembangan ekonomi Kolonial pada beberapa perusahaan Barat yang ada didaerah Jawa, khususnya Jawa Timur bagian timur (Karisidenan Basuki).
Tenaga kerja Madura dimanfaatkan sebagai tenaga buruh pada beberapa perkebunan Belanda. Orang-orang Pamekasan sendiri pada akhirnya banyak hijrah dan menetap di daerah Bondowoso. Walaupun sisi lain, seperti yang ditulis oleh peneliti Belanda masa Hindia Belanda telah menyebabkan terbukanya Madura dengan dunia luar yang menyebabkan orang-orang kecil mengetahui system komersialisasi dan industrialisasi yang sangat bermanfaat untuk gerakan-gerakan politik masa berikutnya dan muncul kesadaran kebangsaan, masa Hindia Belanda telah menorehkan sejarah tentang pedihnya luka akibat penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing. Memberlakukan dan erlindungan terhadap system apanage telah membuat orang-orang kecil di pedesaan tidak bisa menikmati hak-haknya secara bebas.
Begitu juga ketika politik etis diberlakukan, rakyat Madura telah diperkenalkan akan pentingnya pendidikan dan industri, tetapi disisi lain, keuntungan politik etis yang dinikmati oleh rakyat Madura termasuk Pamekasan harus ditebus dengan hancurnya ekologi Madura secara berkepanjangan, atau sedikitnya sampai masa pemulihan keadaan yang dipelopori oleh Residen R. Soenarto Hadiwidjojo. Bahwa pencabutan hak apanage yang diberikan kepada para bangsawan dan raja-raja Madura telah mengarah kepada kehancuran prestise pemegangnya yang selama beberapa abad disandangnya.
Perkembangan Pamekasan, walaupun tidak terlalu banyak bukti tertulis berupa manuskrip ataupun inskripsi nampaknya memiliki peran yang cukup penting pada pertumbuhan kesadaran kebangsaan yang mulai berkembang di Negara kita pada zaman Kebangkitan dan Pergerakan Nasional. Banyak tokoh-tokoh Pamekasan yang kemudian bergabung dengan partai-partai politik nasional yang mulai bangkit seperti Sarikat Islam dan Nahdatul Ulama diakui sebagai tokoh nasional. Kita mengenal Tabrani, sebagai pencetus Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang mulai dihembuskan pada saat terjadinya Kongres Pemuda pertama pada tahun 1926, namun terjadi perselisihan faham dengan tokoh nasional lainnya di kongres tersebut. Pada Kongres Pemuda kedua tahun 1928 antara Tabrani dengan tokoh lainnya seperti Mohammad Yamin sudah tidak lagi bersilang pendapat.
Pergaulan tokoh-tokoh Pamekasan pada tingkat nasional baik secara perorangan ataupun melalui partai-partai politik yang bermunculan pada saat itu, ditambah dengan kejadian-kejadian historis sekitar persiapan kemerdekaan yang kemudian disusul dengan tragedi-tragedi pada zaman pendudukan Jepang ternyata mampu mendorong semakin kuatnya kesadaran para tokoh Pamekasan akan pentingnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian bahwa sebagian besar rakyat Madura termasuk Pamekasan tidak bisa menerima terbentuknya negara Madura sebagai salah satu upaya Pemerintahan Kolonial Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Melihat dari sedikitnya, bahkan hampir tidak ada sama sekali prasasti maupun inskripsi sebagai sumber penulisan ini, maka data-data ataupun fakta yang digunakan untuk menganalisis peristiwa yang terjadi tetap diupayakan menggunakan data-data sekunder berupa buku-buku sejarah ataupun Layang Madura yang diperkirakan memiliki kaitan peristiwa dengan kejadian sejarah yang ada. Selain itu diupayakan menggunakan data primer dari beberapa informan kunci yaitu para sesepuh Pamekasan. Saat ini nama pamekasan sedang naik daun dengan kehadiran klub sepak Bola Profesional Persepam madura United , yang saejak kompetisi 2012/2013 masuk dalam Indonesia Super League (ISL).
Sejarah Dan Asal Usul Ki Ario Mengo telah membuka hutan di selatan Pulau Madura dan mendirikan Keraton Lawangan Daja, maka diartikel kali ini Ambang Inside akan meneruskan tentang keturunan dari Ki Ario Mengo. Ki Ario Mengo memiliki seorang puteri tunggal yang bernama Nyi Banu. Nyi Banu tumbuh menjadi gadis yang rupawan dan cerdas dan diharapkan oleh Ki Ario Mengo dapat menggantikan kedudukannya setelah ia wafat.  
Untuk itu, sejak kecil Nyi Banu dididik dengan penuh kasih sayang oleh Ki Ario Mengo. Maka tidak mengherankan bila perilaku dan keluhuran budi Nyi Banu sangat mirip dengan ayahnya tersebut. Nyi Banu bukan hanya disegani oleh rakyat biasa, tetapi juga oleh pejabat Keraton Lawangan Daja.
Setelah Ki Ario Mengo wafat, Nyi Banu naik tahta dengan gelar Ratu Pawelingan atau Ratu Pawekasan. Oleh karena Nyi Banu merupakan satu-satunya putri yang menggantikan ayahnya ketika itu, maka tidak saja namanya sangat masyhur, tetapi juga keratonnya. Keraton Lawangan Daja ini kemudian hari dikenal dengan nama Keraton Pamekasan . Tidak sia-sialah Ki Ario Mengo mendidik putrinya karena ternyata Nyi Banu dapat memimpin rakyatnya dengan baik dan sukses. Bidang pertanian dan perdagangan di Keraton Lawangan Daja maju dengan pesat. Banyak saudagar yang mengadakan hubungan dagang antar pulau menyinggahkan kapalnya di pantai Talang.
Kek Lesap Mengabdi Kepada Raja Bangkalan (Awal Pamekasan) Syahdan, diceritakan bahwa penggantian nama Pawelingan menjadi Pamekasan sebenarnya berasal dari cerita Kek Lesap. Sebenarnya Kek Lesap adalah putra selir Pangeran Cakraningrat V , yaitu Raja Bangkalan. Tetapi malang, ia tidak diakui sebagai anak kandungnya. Sungguhpun demikian, ia memaksakan dirinya untuk mengabdi kepada ayahandanya. Ia dijadikan juru rawat kuda di keraton Bangkalan. Setiap hari ia harus menyiapkan kuda untuk Kompeni Belanda.
Darah pahlawan yang mengalir di sekujur tubuhnya mulai menggelegak. Pikiran sehatnya dan hati nuraninya tidak dapat menerima kerjasama dengan kompeni Belanda yang dilakukan oleh ayahnya. Agar ia tidak selalu melihat hal yang menyinggung perasaannya, ia sering meninggalkan keraton Bangkalan untuk mengaji. Oleh karena ia adalah anak yang cerdas, maka Kek Lesap dijadikan pembantu oleh kiainya.
Pengalaman pahit di keraton ayahandanya itu selalu membayangi hidupnya. Begitu juga tingkah laku, sikap dan tindakan Kompeni Belanda terhadap ayahandanya selalu mengusik perasaannya. Agar cita-citanya itu tercapai, ia bertapa di Gunung Gegger di daerah Arosbaya, untuk mendapatkan kekuatan batin.
Kek Lesap Bertapa di Gunung Payudan Sumenep Setelah sekian lama di sana, kemudian ia pindah ke Gunung Payudan di daerah Guluk-guluk, Sumenep. Di tempat yang baru ini, sekian bulan lamanya ia tidak keluar. Ia menyatukan dirinya dengan Yang Maha Pencipta, dengan jalan melupakan makan, minum dan tidur.
Tuhan mengabulkan permohonan orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya. Demikian pula kepada Kek Lesap diberikan kekuatan batin. Selain itu, ia memperoleh senjata ampuh sebangsa celurit kecil yang ia namakan Kodhi’ Crangcang.
Dengan senjata yang bernama Kodhi’ Crangcang tersebut Kek Lesap merasa mampu melawan Kompeni Belanda yang telah menguasai para bupati di seluruh Madura. Lagipula ia tidak merasa khawatir melawan senjata Kiai Nenggala milik ayahnya. Setelah Kek Lesap turun dari pertapaannya, ia mempengaruhi penduduk Guluk-guluk dan sekitarnya untuk menyerang Kompeni Belanda dan Keraton Sumenep.
Kek Lesap Menguasai Keraton Sumenep (Kisah Pamekasan) Mendengar maksud Kek Lesap itu, Raden Alza yang bergelar Pangeran Cokronegoro III , yaitu Raja Sumenep merasa khawatir untuk melawannya. Oleh karena itu, ia lari meloloskan diri (lolos bahasa Madura) untuk meminta perlindungan kepada Kompeni Belanda di Surabaya. Lolosnya itulah yang menyebabkan ia terkenal dengan sebutan Pangeran Lolos.
Di Sumenep tidak ada perlawanan sedikit pun, sehingga Kek Lesap dapat menguasai Keraton Sumenep dengan mudah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1750. Dari laporan Raden Alza itu, kompeni Belanda mengetahui bahwa Kek Lesap telah memberontak terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu, seluruh kekuatan kompeni Belanda di pusatkan di Madura Barat.
Dari Sumenep, keesokan harinya pasukan Kek Lesap menuju ke arah barat. Kebetulan bupati Adikoro IV sedang pergi melaporkan ke Semarang dan dalam perjalanan pulang, ia singgah di rumah mertuanya, yaitu Pangeran Cakraningrat V. Ia hanya berpesan kepada patihnya yang bernama Raden Ashar, agar memberitahukan kepada mertuanya bahwa daerah kekuasaan Raden Alza telah ditaklukkan. Dari pesan (bahasa Jawa: wekasan) inilah agaknya kata Pawekasan menjadi Pamekasan.
Nyi Banu Menikah Dengan Ki Ario Pramono Kembali kepada cerita mengenai Nyi Banu, ratu rupawan yanga memerintah Pamekasan itu, banyak menarik perhatian penguasa di Pulau Madura. Mereka ingin mempersunting Nyi Banu untuk menjadi isteri. Padahal sejak Nyi Banu masih remaja, hatinya sudah terpikat oleh Ki Ario Pramono, yaitu Kami Tuwo di Madegan, Keraton Sampang.
Begitu juga dengan Ki Ario Pramono, meskipun banyak gadis yang mendekati untuk memikatnya, ia tidak menghiraukannya. Bagi Ki Ario Pramono, hanya Nyi Banulah yang menjadi idaman hatinya, hingga akhirnya mereka menjadi suami isteri. Pesta perkawinan Nyi Banu dan Ki Ario Pramono berlangsung selama 40 hari 40 malam.
Rakyat Pamekasan sangat bergembira karena junjungannya sudah mempunyai pendamping setia untuk bersama-sama memimpin Keraton Pamekasan dan Madegan. Perkawinan Nyi Banu dan Ki Ario Pramono rupanya juga berfungsi memperkuat kedudukan Dinasti Majapahit di Madura. Semasa Nyi Banu bersama Ki Ario Pramono memerintah, terjadilah peristiwa yang menggelisahkan keturunan Majapahit yang ada di Madura, karena Kerajaan Majapahit runtuh. Mahkota kerajaannya diboyong ke Mataram.
Meski demikian, semua penguasa di Madura termasuk Ratu Nyi Banu dan Ki Ario Pramono tidak mau tunduk kepada Mataram. Hal ini kelak mengakibatkan hancurnya wangsa (dinasti) Majapahit di Madura.

sejarah kota Pamekasan


SEJARAH KOTA PAMEKASAN
MADURA
(by: Rohman Afandi) 
Kabupaten Pamekasan adalah sebuah kabupaten di Pulau Madura , Provinsi Jawa Timur , Indonesia . Ibukotanya adalah Pamekasan . Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Madura di selatan, Kabupaten Sampang di barat, dan Kabupaten Sumenep di timur.
Kabupaten Pamekasan terdiri atas 13 kecamatan , yang dibagi lagi atas 178 desa dan 11 kelurahan . Pusat pemerintahannya ada di Kecamatan Pamekasan . Sejarah Kemunculan sejarah pemerintahan local Pamekasan, diperkirakan baru diketahui sejak pertengahan abad ke-15 berdasarkan sumber sejarah tentang lahirnya mitos atau legenda Aryo Menak Sunoyo yang mulai merintis pemerintahan lokal di daerah Proppo atau Parupuk. Jauh sebelum munculnya legenda ini, keberadaan Pamekasan tidak banyak dibicarakan.
Diperkirakan, Pamekasan merupakan bagian dari pemerintahan Madura di Sumenep yang telah berdiri sejak pengangkatan Arya Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268 oleh Kertanegara. Kabupaten Pamekasan lahir dari proses sejarah yang cukup panjang. Istilah Pamekasan sendiri baru dikenal pada sepertiga abad ke-16, ketika Ronggosukowati mulai memindahkan pusat pemerintahan dari Kraton Labangan Daja  ke Kraton Mandilara s. Memang belum cukup bukti tertulis yang menyebutkan proses perpindahan pusat pemerintahan sehingga terjadi perubahan nama wilayah ini. Begitu juga munculnya sejarah pemerintahan di Pamekasan sangat jarang ditemukan bukti-bukti tertulis apalagi prasasti yang menjelaskan tentang kapan dan bagaimana keberadaannya.
Jika pemerintahan lokal Pamekasan lahir pada abad 15, tidak dapat disangkal bahwa kabupaten ini lahir pada jaman kegelapan Majapahit yaitu pada saat daerah-daerah pesisir di wilayah kekuasaan Majapahit mulai merintis berdirinya pemerintahan sendiri. Berkaitan dengan sejarah kegelapan Majapahit tentu tidak bisa dipungkiri tentang kemiskinan data sejarah karena di Majapahit sendiri telah sibuk dengan upaya mempertahankan bekas wilayah pemerintahannya yang sangat besar, apalagi saat itu sastrawan-sastrawan terkenal setingkat Mpu Prapanca dan Mpu Tantular tidak banyak menghasilkan karya sastra. Sedangkan pada kehidupan masyarakat Madura sendiri, nampaknya lebih berkembang sastra lisan dibandingkan dengan sastra tulis Graaf (2001) menulis bahwa orang Madura tidak mempunyai sejarah tertulis dalam bahasa sendiri mengenai raja-raja pribumi pada zaman pra-islam.
Tulisan-tulisan yang kemudian mulai diperkenalkan sejarah pemerintahan Pamekasan
ini pada awalnya lebih banyak ditulis oleh penulis Belanda sehingga banyak menggunakan Bahasa Belanda dan kemudian mulai diterjemahkan atau ditulis kembali oleh sejarawan Madura, seperti Zainal fatah ataupun Abdurrahman. Memang masih ada bukti-bukti tertulis lainnya yang berkembang di masyarakat, seperti tulisan pada daun lontar atau Layang Madura, namun demikian tulisan pada layang inipun lebih banyak menceritakan sejarah kehidupan para Nabi (Rasul) dan sahabatnya, termasuk juga ajaran-ajaran agama sebagai salah satu sumber pelajaran agama bagi masyarakat luas. Masa pencerahan sejarah lokal Pamekasan mulai terungkap sekitar paruh kedua abad ke-16, ketika pengaruh Mataram mulai masuk di Madura, terlebih lagi ketika Ronggosukowati mulai mereformasi pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya. Bahkan, raja ini disebut-sebut sebagai raja Pertama di Pamekasan yang secara terang-terangan mulai mengembangkan Agama Islam di kraton dan rakyatnya. Hal ini diperkuat dengan pembuatan jalan Se Jimat, yaitu jalan- jalan di Alun-alun kota Pamekasan dan mendirikan Masjid Jamik Pamekasan. Namun demikian, sampai saat ini masih belum bisa diketemukan adanya inskripsi ataupun prasasti pada beberapa situs peninggalannya untuk menentukan kepastian tanggal dan bulan pada saat pertama kali ia memerintah Pamekasan. Bahkan zaman pemerintahan Ronggosukowati mulai dikenal sejak berkembangnya legenda kyai Joko Piturun, pusaka andalan Ronggosukowati yang diceritakan mampu membunuh Pangeran Lemah Duwur dari Aresbaya melalui peristiwa mimpi. Padahal temuan ini sangat penting karena dianggap memiliki nilai sejarah untuk menentukan Hari Jadi Kota Pamekasan.
Terungkapnya sejarah pemerintahan di Pamekasan semakin ada titik terang setelah berhasilnya invansi Mataram ke Madura dan merintis pemerintahan lokal dibawah pengawasan Mataram. Hal ini dikisahkan dalam beberapa karya tulis seperti Babad Mataram dan Sejarah Dalem serta telah adanya beberapa penelitian sejarah oleh Sarjana barat yang lebih banyak dikaitkan dengan perkembangan sosial dan agama, khususnya perkembangan Islam di Pulau Jawa dan Madura, seperti Graaf dan TH. Pigeaud tentang kerajaan Islam pertama di Jawa dan Benda tentang Matahari Terbit dan Bulan Sabit, termasuk juga beberapa karya penelitian lainnya yang menceritakan sejarah Madura. Masa-masa berikutnya yaitu masa-masa yang lebih cerahsebab telah banyak tulisan berupa hasil penelitian yang didasarkan pada tulisan-tulisan sejarah Madura termasuk Pamekasan dari segi pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan agama, mulai dari masuknya pengaruh Mataram khususnya dalam pemerintahan Madura Barat (Bangkalan dan Pamekasan), masa campur tangan pemerintahan Belanda yang sempat menimbulkan pro dan kontra bagi para Penguasa Madura, dan menimbulkan peperangan Pangeran Trunojoyo dan Ke’ Lesap, dan terakhir pada saat terjadinya pemerintahan kolonial Belanda di Madura.
Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda inilah, nampaknya Pamekasan untuk perkembangan politik nasional tidak menguntungkan, tetapi disisi lain, para penguasa Pamekasan seperti diibaratkan pada pepatah Buppa’, Babu’, Guru, Rato telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintahan Kolonial untuk kerentanan politiknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya penguasa Madura yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memadamkan beberapa pemberontakan di Nusantara yang dianggap merugikan pemerintahan kolonial dan penggunaan tenaga kerja Madura untuk kepentingan perkembangan ekonomi Kolonial pada beberapa perusahaan Barat yang ada didaerah Jawa, khususnya Jawa Timur bagian timur (Karisidenan Basuki).
Tenaga kerja Madura dimanfaatkan sebagai tenaga buruh pada beberapa perkebunan Belanda. Orang-orang Pamekasan sendiri pada akhirnya banyak hijrah dan menetap di daerah Bondowoso. Walaupun sisi lain, seperti yang ditulis oleh peneliti Belanda masa Hindia Belanda telah menyebabkan terbukanya Madura dengan dunia luar yang menyebabkan orang-orang kecil mengetahui system komersialisasi dan industrialisasi yang sangat bermanfaat untuk gerakan-gerakan politik masa berikutnya dan muncul kesadaran kebangsaan, masa Hindia Belanda telah menorehkan sejarah tentang pedihnya luka akibat penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing. Memberlakukan dan erlindungan terhadap system apanage telah membuat orang-orang kecil di pedesaan tidak bisa menikmati hak-haknya secara bebas.
Begitu juga ketika politik etis diberlakukan, rakyat Madura telah diperkenalkan akan pentingnya pendidikan dan industri, tetapi disisi lain, keuntungan politik etis yang dinikmati oleh rakyat Madura termasuk Pamekasan harus ditebus dengan hancurnya ekologi Madura secara berkepanjangan, atau sedikitnya sampai masa pemulihan keadaan yang dipelopori oleh Residen R. Soenarto Hadiwidjojo. Bahwa pencabutan hak apanage yang diberikan kepada para bangsawan dan raja-raja Madura telah mengarah kepada kehancuran prestise pemegangnya yang selama beberapa abad disandangnya.
Perkembangan Pamekasan, walaupun tidak terlalu banyak bukti tertulis berupa manuskrip ataupun inskripsi nampaknya memiliki peran yang cukup penting pada pertumbuhan kesadaran kebangsaan yang mulai berkembang di Negara kita pada zaman Kebangkitan dan Pergerakan Nasional. Banyak tokoh-tokoh Pamekasan yang kemudian bergabung dengan partai-partai politik nasional yang mulai bangkit seperti Sarikat Islam dan Nahdatul Ulama diakui sebagai tokoh nasional. Kita mengenal Tabrani, sebagai pencetus Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang mulai dihembuskan pada saat terjadinya Kongres Pemuda pertama pada tahun 1926, namun terjadi perselisihan faham dengan tokoh nasional lainnya di kongres tersebut. Pada Kongres Pemuda kedua tahun 1928 antara Tabrani dengan tokoh lainnya seperti Mohammad Yamin sudah tidak lagi bersilang pendapat.
Pergaulan tokoh-tokoh Pamekasan pada tingkat nasional baik secara perorangan ataupun melalui partai-partai politik yang bermunculan pada saat itu, ditambah dengan kejadian-kejadian historis sekitar persiapan kemerdekaan yang kemudian disusul dengan tragedi-tragedi pada zaman pendudukan Jepang ternyata mampu mendorong semakin kuatnya kesadaran para tokoh Pamekasan akan pentingnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian bahwa sebagian besar rakyat Madura termasuk Pamekasan tidak bisa menerima terbentuknya negara Madura sebagai salah satu upaya Pemerintahan Kolonial Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Melihat dari sedikitnya, bahkan hampir tidak ada sama sekali prasasti maupun inskripsi sebagai sumber penulisan ini, maka data-data ataupun fakta yang digunakan untuk menganalisis peristiwa yang terjadi tetap diupayakan menggunakan data-data sekunder berupa buku-buku sejarah ataupun Layang Madura yang diperkirakan memiliki kaitan peristiwa dengan kejadian sejarah yang ada. Selain itu diupayakan menggunakan data primer dari beberapa informan kunci yaitu para sesepuh Pamekasan. Saat ini nama pamekasan sedang naik daun dengan kehadiran klub sepak Bola Profesional Persepam madura United , yang saejak kompetisi 2012/2013 masuk dalam Indonesia Super League (ISL).
Sejarah Dan Asal Usul Ki Ario Mengo telah membuka hutan di selatan Pulau Madura dan mendirikan Keraton Lawangan Daja, maka diartikel kali ini Ambang Inside akan meneruskan tentang keturunan dari Ki Ario Mengo. Ki Ario Mengo memiliki seorang puteri tunggal yang bernama Nyi Banu. Nyi Banu tumbuh menjadi gadis yang rupawan dan cerdas dan diharapkan oleh Ki Ario Mengo dapat menggantikan kedudukannya setelah ia wafat.  
Untuk itu, sejak kecil Nyi Banu dididik dengan penuh kasih sayang oleh Ki Ario Mengo. Maka tidak mengherankan bila perilaku dan keluhuran budi Nyi Banu sangat mirip dengan ayahnya tersebut. Nyi Banu bukan hanya disegani oleh rakyat biasa, tetapi juga oleh pejabat Keraton Lawangan Daja.
Setelah Ki Ario Mengo wafat, Nyi Banu naik tahta dengan gelar Ratu Pawelingan atau Ratu Pawekasan. Oleh karena Nyi Banu merupakan satu-satunya putri yang menggantikan ayahnya ketika itu, maka tidak saja namanya sangat masyhur, tetapi juga keratonnya. Keraton Lawangan Daja ini kemudian hari dikenal dengan nama Keraton Pamekasan . Tidak sia-sialah Ki Ario Mengo mendidik putrinya karena ternyata Nyi Banu dapat memimpin rakyatnya dengan baik dan sukses. Bidang pertanian dan perdagangan di Keraton Lawangan Daja maju dengan pesat. Banyak saudagar yang mengadakan hubungan dagang antar pulau menyinggahkan kapalnya di pantai Talang.
Kek Lesap Mengabdi Kepada Raja Bangkalan (Awal Pamekasan) Syahdan, diceritakan bahwa penggantian nama Pawelingan menjadi Pamekasan sebenarnya berasal dari cerita Kek Lesap. Sebenarnya Kek Lesap adalah putra selir Pangeran Cakraningrat V , yaitu Raja Bangkalan. Tetapi malang, ia tidak diakui sebagai anak kandungnya. Sungguhpun demikian, ia memaksakan dirinya untuk mengabdi kepada ayahandanya. Ia dijadikan juru rawat kuda di keraton Bangkalan. Setiap hari ia harus menyiapkan kuda untuk Kompeni Belanda.
Darah pahlawan yang mengalir di sekujur tubuhnya mulai menggelegak. Pikiran sehatnya dan hati nuraninya tidak dapat menerima kerjasama dengan kompeni Belanda yang dilakukan oleh ayahnya. Agar ia tidak selalu melihat hal yang menyinggung perasaannya, ia sering meninggalkan keraton Bangkalan untuk mengaji. Oleh karena ia adalah anak yang cerdas, maka Kek Lesap dijadikan pembantu oleh kiainya.
Pengalaman pahit di keraton ayahandanya itu selalu membayangi hidupnya. Begitu juga tingkah laku, sikap dan tindakan Kompeni Belanda terhadap ayahandanya selalu mengusik perasaannya. Agar cita-citanya itu tercapai, ia bertapa di Gunung Gegger di daerah Arosbaya, untuk mendapatkan kekuatan batin.
Kek Lesap Bertapa di Gunung Payudan Sumenep Setelah sekian lama di sana, kemudian ia pindah ke Gunung Payudan di daerah Guluk-guluk, Sumenep. Di tempat yang baru ini, sekian bulan lamanya ia tidak keluar. Ia menyatukan dirinya dengan Yang Maha Pencipta, dengan jalan melupakan makan, minum dan tidur.
Tuhan mengabulkan permohonan orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya. Demikian pula kepada Kek Lesap diberikan kekuatan batin. Selain itu, ia memperoleh senjata ampuh sebangsa celurit kecil yang ia namakan Kodhi’ Crangcang.
Dengan senjata yang bernama Kodhi’ Crangcang tersebut Kek Lesap merasa mampu melawan Kompeni Belanda yang telah menguasai para bupati di seluruh Madura. Lagipula ia tidak merasa khawatir melawan senjata Kiai Nenggala milik ayahnya. Setelah Kek Lesap turun dari pertapaannya, ia mempengaruhi penduduk Guluk-guluk dan sekitarnya untuk menyerang Kompeni Belanda dan Keraton Sumenep.
Kek Lesap Menguasai Keraton Sumenep (Kisah Pamekasan) Mendengar maksud Kek Lesap itu, Raden Alza yang bergelar Pangeran Cokronegoro III , yaitu Raja Sumenep merasa khawatir untuk melawannya. Oleh karena itu, ia lari meloloskan diri (lolos bahasa Madura) untuk meminta perlindungan kepada Kompeni Belanda di Surabaya. Lolosnya itulah yang menyebabkan ia terkenal dengan sebutan Pangeran Lolos.
Di Sumenep tidak ada perlawanan sedikit pun, sehingga Kek Lesap dapat menguasai Keraton Sumenep dengan mudah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1750. Dari laporan Raden Alza itu, kompeni Belanda mengetahui bahwa Kek Lesap telah memberontak terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu, seluruh kekuatan kompeni Belanda di pusatkan di Madura Barat.
Dari Sumenep, keesokan harinya pasukan Kek Lesap menuju ke arah barat. Kebetulan bupati Adikoro IV sedang pergi melaporkan ke Semarang dan dalam perjalanan pulang, ia singgah di rumah mertuanya, yaitu Pangeran Cakraningrat V. Ia hanya berpesan kepada patihnya yang bernama Raden Ashar, agar memberitahukan kepada mertuanya bahwa daerah kekuasaan Raden Alza telah ditaklukkan. Dari pesan (bahasa Jawa: wekasan) inilah agaknya kata Pawekasan menjadi Pamekasan.
Nyi Banu Menikah Dengan Ki Ario Pramono Kembali kepada cerita mengenai Nyi Banu, ratu rupawan yanga memerintah Pamekasan itu, banyak menarik perhatian penguasa di Pulau Madura. Mereka ingin mempersunting Nyi Banu untuk menjadi isteri. Padahal sejak Nyi Banu masih remaja, hatinya sudah terpikat oleh Ki Ario Pramono, yaitu Kami Tuwo di Madegan, Keraton Sampang.
Begitu juga dengan Ki Ario Pramono, meskipun banyak gadis yang mendekati untuk memikatnya, ia tidak menghiraukannya. Bagi Ki Ario Pramono, hanya Nyi Banulah yang menjadi idaman hatinya, hingga akhirnya mereka menjadi suami isteri. Pesta perkawinan Nyi Banu dan Ki Ario Pramono berlangsung selama 40 hari 40 malam.
Rakyat Pamekasan sangat bergembira karena junjungannya sudah mempunyai pendamping setia untuk bersama-sama memimpin Keraton Pamekasan dan Madegan. Perkawinan Nyi Banu dan Ki Ario Pramono rupanya juga berfungsi memperkuat kedudukan Dinasti Majapahit di Madura. Semasa Nyi Banu bersama Ki Ario Pramono memerintah, terjadilah peristiwa yang menggelisahkan keturunan Majapahit yang ada di Madura, karena Kerajaan Majapahit runtuh. Mahkota kerajaannya diboyong ke Mataram.
Meski demikian, semua penguasa di Madura termasuk Ratu Nyi Banu dan Ki Ario Pramono tidak mau tunduk kepada Mataram. Hal ini kelak mengakibatkan hancurnya wangsa (dinasti) Majapahit di Madura.

sejarah kota Pamekasan


SEJARAH KOTA PAMEKASAN
MADURA
(by: Rohman Afandi) 
Kabupaten Pamekasan adalah sebuah kabupaten di Pulau Madura , Provinsi Jawa Timur , Indonesia . Ibukotanya adalah Pamekasan . Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Madura di selatan, Kabupaten Sampang di barat, dan Kabupaten Sumenep di timur.
Kabupaten Pamekasan terdiri atas 13 kecamatan , yang dibagi lagi atas 178 desa dan 11 kelurahan . Pusat pemerintahannya ada di Kecamatan Pamekasan . Sejarah Kemunculan sejarah pemerintahan local Pamekasan, diperkirakan baru diketahui sejak pertengahan abad ke-15 berdasarkan sumber sejarah tentang lahirnya mitos atau legenda Aryo Menak Sunoyo yang mulai merintis pemerintahan lokal di daerah Proppo atau Parupuk. Jauh sebelum munculnya legenda ini, keberadaan Pamekasan tidak banyak dibicarakan.
Diperkirakan, Pamekasan merupakan bagian dari pemerintahan Madura di Sumenep yang telah berdiri sejak pengangkatan Arya Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268 oleh Kertanegara. Kabupaten Pamekasan lahir dari proses sejarah yang cukup panjang. Istilah Pamekasan sendiri baru dikenal pada sepertiga abad ke-16, ketika Ronggosukowati mulai memindahkan pusat pemerintahan dari Kraton Labangan Daja  ke Kraton Mandilara s. Memang belum cukup bukti tertulis yang menyebutkan proses perpindahan pusat pemerintahan sehingga terjadi perubahan nama wilayah ini. Begitu juga munculnya sejarah pemerintahan di Pamekasan sangat jarang ditemukan bukti-bukti tertulis apalagi prasasti yang menjelaskan tentang kapan dan bagaimana keberadaannya.
Jika pemerintahan lokal Pamekasan lahir pada abad 15, tidak dapat disangkal bahwa kabupaten ini lahir pada jaman kegelapan Majapahit yaitu pada saat daerah-daerah pesisir di wilayah kekuasaan Majapahit mulai merintis berdirinya pemerintahan sendiri. Berkaitan dengan sejarah kegelapan Majapahit tentu tidak bisa dipungkiri tentang kemiskinan data sejarah karena di Majapahit sendiri telah sibuk dengan upaya mempertahankan bekas wilayah pemerintahannya yang sangat besar, apalagi saat itu sastrawan-sastrawan terkenal setingkat Mpu Prapanca dan Mpu Tantular tidak banyak menghasilkan karya sastra. Sedangkan pada kehidupan masyarakat Madura sendiri, nampaknya lebih berkembang sastra lisan dibandingkan dengan sastra tulis Graaf (2001) menulis bahwa orang Madura tidak mempunyai sejarah tertulis dalam bahasa sendiri mengenai raja-raja pribumi pada zaman pra-islam.
Tulisan-tulisan yang kemudian mulai diperkenalkan sejarah pemerintahan Pamekasan
ini pada awalnya lebih banyak ditulis oleh penulis Belanda sehingga banyak menggunakan Bahasa Belanda dan kemudian mulai diterjemahkan atau ditulis kembali oleh sejarawan Madura, seperti Zainal fatah ataupun Abdurrahman. Memang masih ada bukti-bukti tertulis lainnya yang berkembang di masyarakat, seperti tulisan pada daun lontar atau Layang Madura, namun demikian tulisan pada layang inipun lebih banyak menceritakan sejarah kehidupan para Nabi (Rasul) dan sahabatnya, termasuk juga ajaran-ajaran agama sebagai salah satu sumber pelajaran agama bagi masyarakat luas. Masa pencerahan sejarah lokal Pamekasan mulai terungkap sekitar paruh kedua abad ke-16, ketika pengaruh Mataram mulai masuk di Madura, terlebih lagi ketika Ronggosukowati mulai mereformasi pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya. Bahkan, raja ini disebut-sebut sebagai raja Pertama di Pamekasan yang secara terang-terangan mulai mengembangkan Agama Islam di kraton dan rakyatnya. Hal ini diperkuat dengan pembuatan jalan Se Jimat, yaitu jalan- jalan di Alun-alun kota Pamekasan dan mendirikan Masjid Jamik Pamekasan. Namun demikian, sampai saat ini masih belum bisa diketemukan adanya inskripsi ataupun prasasti pada beberapa situs peninggalannya untuk menentukan kepastian tanggal dan bulan pada saat pertama kali ia memerintah Pamekasan. Bahkan zaman pemerintahan Ronggosukowati mulai dikenal sejak berkembangnya legenda kyai Joko Piturun, pusaka andalan Ronggosukowati yang diceritakan mampu membunuh Pangeran Lemah Duwur dari Aresbaya melalui peristiwa mimpi. Padahal temuan ini sangat penting karena dianggap memiliki nilai sejarah untuk menentukan Hari Jadi Kota Pamekasan.
Terungkapnya sejarah pemerintahan di Pamekasan semakin ada titik terang setelah berhasilnya invansi Mataram ke Madura dan merintis pemerintahan lokal dibawah pengawasan Mataram. Hal ini dikisahkan dalam beberapa karya tulis seperti Babad Mataram dan Sejarah Dalem serta telah adanya beberapa penelitian sejarah oleh Sarjana barat yang lebih banyak dikaitkan dengan perkembangan sosial dan agama, khususnya perkembangan Islam di Pulau Jawa dan Madura, seperti Graaf dan TH. Pigeaud tentang kerajaan Islam pertama di Jawa dan Benda tentang Matahari Terbit dan Bulan Sabit, termasuk juga beberapa karya penelitian lainnya yang menceritakan sejarah Madura. Masa-masa berikutnya yaitu masa-masa yang lebih cerahsebab telah banyak tulisan berupa hasil penelitian yang didasarkan pada tulisan-tulisan sejarah Madura termasuk Pamekasan dari segi pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan agama, mulai dari masuknya pengaruh Mataram khususnya dalam pemerintahan Madura Barat (Bangkalan dan Pamekasan), masa campur tangan pemerintahan Belanda yang sempat menimbulkan pro dan kontra bagi para Penguasa Madura, dan menimbulkan peperangan Pangeran Trunojoyo dan Ke’ Lesap, dan terakhir pada saat terjadinya pemerintahan kolonial Belanda di Madura.
Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda inilah, nampaknya Pamekasan untuk perkembangan politik nasional tidak menguntungkan, tetapi disisi lain, para penguasa Pamekasan seperti diibaratkan pada pepatah Buppa’, Babu’, Guru, Rato telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintahan Kolonial untuk kerentanan politiknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya penguasa Madura yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memadamkan beberapa pemberontakan di Nusantara yang dianggap merugikan pemerintahan kolonial dan penggunaan tenaga kerja Madura untuk kepentingan perkembangan ekonomi Kolonial pada beberapa perusahaan Barat yang ada didaerah Jawa, khususnya Jawa Timur bagian timur (Karisidenan Basuki).
Tenaga kerja Madura dimanfaatkan sebagai tenaga buruh pada beberapa perkebunan Belanda. Orang-orang Pamekasan sendiri pada akhirnya banyak hijrah dan menetap di daerah Bondowoso. Walaupun sisi lain, seperti yang ditulis oleh peneliti Belanda masa Hindia Belanda telah menyebabkan terbukanya Madura dengan dunia luar yang menyebabkan orang-orang kecil mengetahui system komersialisasi dan industrialisasi yang sangat bermanfaat untuk gerakan-gerakan politik masa berikutnya dan muncul kesadaran kebangsaan, masa Hindia Belanda telah menorehkan sejarah tentang pedihnya luka akibat penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing. Memberlakukan dan erlindungan terhadap system apanage telah membuat orang-orang kecil di pedesaan tidak bisa menikmati hak-haknya secara bebas.
Begitu juga ketika politik etis diberlakukan, rakyat Madura telah diperkenalkan akan pentingnya pendidikan dan industri, tetapi disisi lain, keuntungan politik etis yang dinikmati oleh rakyat Madura termasuk Pamekasan harus ditebus dengan hancurnya ekologi Madura secara berkepanjangan, atau sedikitnya sampai masa pemulihan keadaan yang dipelopori oleh Residen R. Soenarto Hadiwidjojo. Bahwa pencabutan hak apanage yang diberikan kepada para bangsawan dan raja-raja Madura telah mengarah kepada kehancuran prestise pemegangnya yang selama beberapa abad disandangnya.
Perkembangan Pamekasan, walaupun tidak terlalu banyak bukti tertulis berupa manuskrip ataupun inskripsi nampaknya memiliki peran yang cukup penting pada pertumbuhan kesadaran kebangsaan yang mulai berkembang di Negara kita pada zaman Kebangkitan dan Pergerakan Nasional. Banyak tokoh-tokoh Pamekasan yang kemudian bergabung dengan partai-partai politik nasional yang mulai bangkit seperti Sarikat Islam dan Nahdatul Ulama diakui sebagai tokoh nasional. Kita mengenal Tabrani, sebagai pencetus Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang mulai dihembuskan pada saat terjadinya Kongres Pemuda pertama pada tahun 1926, namun terjadi perselisihan faham dengan tokoh nasional lainnya di kongres tersebut. Pada Kongres Pemuda kedua tahun 1928 antara Tabrani dengan tokoh lainnya seperti Mohammad Yamin sudah tidak lagi bersilang pendapat.
Pergaulan tokoh-tokoh Pamekasan pada tingkat nasional baik secara perorangan ataupun melalui partai-partai politik yang bermunculan pada saat itu, ditambah dengan kejadian-kejadian historis sekitar persiapan kemerdekaan yang kemudian disusul dengan tragedi-tragedi pada zaman pendudukan Jepang ternyata mampu mendorong semakin kuatnya kesadaran para tokoh Pamekasan akan pentingnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian bahwa sebagian besar rakyat Madura termasuk Pamekasan tidak bisa menerima terbentuknya negara Madura sebagai salah satu upaya Pemerintahan Kolonial Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Melihat dari sedikitnya, bahkan hampir tidak ada sama sekali prasasti maupun inskripsi sebagai sumber penulisan ini, maka data-data ataupun fakta yang digunakan untuk menganalisis peristiwa yang terjadi tetap diupayakan menggunakan data-data sekunder berupa buku-buku sejarah ataupun Layang Madura yang diperkirakan memiliki kaitan peristiwa dengan kejadian sejarah yang ada. Selain itu diupayakan menggunakan data primer dari beberapa informan kunci yaitu para sesepuh Pamekasan. Saat ini nama pamekasan sedang naik daun dengan kehadiran klub sepak Bola Profesional Persepam madura United , yang saejak kompetisi 2012/2013 masuk dalam Indonesia Super League (ISL).
Sejarah Dan Asal Usul Ki Ario Mengo telah membuka hutan di selatan Pulau Madura dan mendirikan Keraton Lawangan Daja, maka diartikel kali ini Ambang Inside akan meneruskan tentang keturunan dari Ki Ario Mengo. Ki Ario Mengo memiliki seorang puteri tunggal yang bernama Nyi Banu. Nyi Banu tumbuh menjadi gadis yang rupawan dan cerdas dan diharapkan oleh Ki Ario Mengo dapat menggantikan kedudukannya setelah ia wafat.  
Untuk itu, sejak kecil Nyi Banu dididik dengan penuh kasih sayang oleh Ki Ario Mengo. Maka tidak mengherankan bila perilaku dan keluhuran budi Nyi Banu sangat mirip dengan ayahnya tersebut. Nyi Banu bukan hanya disegani oleh rakyat biasa, tetapi juga oleh pejabat Keraton Lawangan Daja.
Setelah Ki Ario Mengo wafat, Nyi Banu naik tahta dengan gelar Ratu Pawelingan atau Ratu Pawekasan. Oleh karena Nyi Banu merupakan satu-satunya putri yang menggantikan ayahnya ketika itu, maka tidak saja namanya sangat masyhur, tetapi juga keratonnya. Keraton Lawangan Daja ini kemudian hari dikenal dengan nama Keraton Pamekasan . Tidak sia-sialah Ki Ario Mengo mendidik putrinya karena ternyata Nyi Banu dapat memimpin rakyatnya dengan baik dan sukses. Bidang pertanian dan perdagangan di Keraton Lawangan Daja maju dengan pesat. Banyak saudagar yang mengadakan hubungan dagang antar pulau menyinggahkan kapalnya di pantai Talang.
Kek Lesap Mengabdi Kepada Raja Bangkalan (Awal Pamekasan) Syahdan, diceritakan bahwa penggantian nama Pawelingan menjadi Pamekasan sebenarnya berasal dari cerita Kek Lesap. Sebenarnya Kek Lesap adalah putra selir Pangeran Cakraningrat V , yaitu Raja Bangkalan. Tetapi malang, ia tidak diakui sebagai anak kandungnya. Sungguhpun demikian, ia memaksakan dirinya untuk mengabdi kepada ayahandanya. Ia dijadikan juru rawat kuda di keraton Bangkalan. Setiap hari ia harus menyiapkan kuda untuk Kompeni Belanda.
Darah pahlawan yang mengalir di sekujur tubuhnya mulai menggelegak. Pikiran sehatnya dan hati nuraninya tidak dapat menerima kerjasama dengan kompeni Belanda yang dilakukan oleh ayahnya. Agar ia tidak selalu melihat hal yang menyinggung perasaannya, ia sering meninggalkan keraton Bangkalan untuk mengaji. Oleh karena ia adalah anak yang cerdas, maka Kek Lesap dijadikan pembantu oleh kiainya.
Pengalaman pahit di keraton ayahandanya itu selalu membayangi hidupnya. Begitu juga tingkah laku, sikap dan tindakan Kompeni Belanda terhadap ayahandanya selalu mengusik perasaannya. Agar cita-citanya itu tercapai, ia bertapa di Gunung Gegger di daerah Arosbaya, untuk mendapatkan kekuatan batin.
Kek Lesap Bertapa di Gunung Payudan Sumenep Setelah sekian lama di sana, kemudian ia pindah ke Gunung Payudan di daerah Guluk-guluk, Sumenep. Di tempat yang baru ini, sekian bulan lamanya ia tidak keluar. Ia menyatukan dirinya dengan Yang Maha Pencipta, dengan jalan melupakan makan, minum dan tidur.
Tuhan mengabulkan permohonan orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya. Demikian pula kepada Kek Lesap diberikan kekuatan batin. Selain itu, ia memperoleh senjata ampuh sebangsa celurit kecil yang ia namakan Kodhi’ Crangcang.
Dengan senjata yang bernama Kodhi’ Crangcang tersebut Kek Lesap merasa mampu melawan Kompeni Belanda yang telah menguasai para bupati di seluruh Madura. Lagipula ia tidak merasa khawatir melawan senjata Kiai Nenggala milik ayahnya. Setelah Kek Lesap turun dari pertapaannya, ia mempengaruhi penduduk Guluk-guluk dan sekitarnya untuk menyerang Kompeni Belanda dan Keraton Sumenep.
Kek Lesap Menguasai Keraton Sumenep (Kisah Pamekasan) Mendengar maksud Kek Lesap itu, Raden Alza yang bergelar Pangeran Cokronegoro III , yaitu Raja Sumenep merasa khawatir untuk melawannya. Oleh karena itu, ia lari meloloskan diri (lolos bahasa Madura) untuk meminta perlindungan kepada Kompeni Belanda di Surabaya. Lolosnya itulah yang menyebabkan ia terkenal dengan sebutan Pangeran Lolos.
Di Sumenep tidak ada perlawanan sedikit pun, sehingga Kek Lesap dapat menguasai Keraton Sumenep dengan mudah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1750. Dari laporan Raden Alza itu, kompeni Belanda mengetahui bahwa Kek Lesap telah memberontak terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu, seluruh kekuatan kompeni Belanda di pusatkan di Madura Barat.
Dari Sumenep, keesokan harinya pasukan Kek Lesap menuju ke arah barat. Kebetulan bupati Adikoro IV sedang pergi melaporkan ke Semarang dan dalam perjalanan pulang, ia singgah di rumah mertuanya, yaitu Pangeran Cakraningrat V. Ia hanya berpesan kepada patihnya yang bernama Raden Ashar, agar memberitahukan kepada mertuanya bahwa daerah kekuasaan Raden Alza telah ditaklukkan. Dari pesan (bahasa Jawa: wekasan) inilah agaknya kata Pawekasan menjadi Pamekasan.
Nyi Banu Menikah Dengan Ki Ario Pramono Kembali kepada cerita mengenai Nyi Banu, ratu rupawan yanga memerintah Pamekasan itu, banyak menarik perhatian penguasa di Pulau Madura. Mereka ingin mempersunting Nyi Banu untuk menjadi isteri. Padahal sejak Nyi Banu masih remaja, hatinya sudah terpikat oleh Ki Ario Pramono, yaitu Kami Tuwo di Madegan, Keraton Sampang.
Begitu juga dengan Ki Ario Pramono, meskipun banyak gadis yang mendekati untuk memikatnya, ia tidak menghiraukannya. Bagi Ki Ario Pramono, hanya Nyi Banulah yang menjadi idaman hatinya, hingga akhirnya mereka menjadi suami isteri. Pesta perkawinan Nyi Banu dan Ki Ario Pramono berlangsung selama 40 hari 40 malam.
Rakyat Pamekasan sangat bergembira karena junjungannya sudah mempunyai pendamping setia untuk bersama-sama memimpin Keraton Pamekasan dan Madegan. Perkawinan Nyi Banu dan Ki Ario Pramono rupanya juga berfungsi memperkuat kedudukan Dinasti Majapahit di Madura. Semasa Nyi Banu bersama Ki Ario Pramono memerintah, terjadilah peristiwa yang menggelisahkan keturunan Majapahit yang ada di Madura, karena Kerajaan Majapahit runtuh. Mahkota kerajaannya diboyong ke Mataram.
Meski demikian, semua penguasa di Madura termasuk Ratu Nyi Banu dan Ki Ario Pramono tidak mau tunduk kepada Mataram. Hal ini kelak mengakibatkan hancurnya wangsa (dinasti) Majapahit di Madura.
 

Sample text

Sample Text

Sample Text