Pages

Ads 468x60px

Jumat, 13 Juli 2012

Qiyas dan Rukun-Rukunnya


QIYAS DAN RUKUN-RUKUNNYA



Dosen Pembimbing:
Dr. Ahmad Khudori Saleh, M.Ag





UIN-MALANG





Oleh:
Rohman Afandi (11410084)



 JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2012


DAFTAR ISI



DAFTAR ISI… I
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang… (1)
1.2 Rumusan Maslah… (2)
1.3 Tujuan… (2)
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Qiyas… (3)
2.2 Dasar Hukum Qiyas… (4)
2.3 Syarat Qiyas… (5)
2.4 Rukun Qiyas… (6)
2.5 Pembagian Qiyas… (18)
2.6 Kritik Terhadap Qiyas… (22)
2.7 Kehujjahan Qiyas… (24)
BAB III PENUTUP… (25)
DAFTAR PUSTAKA… (26)


BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang
Ada banyak peristiwa atau kejadian yang belum jelas hukumnya, karena di dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak ditetapkan secara jelas hukumnya. Oleh sebab itu diperlukan suatu cara atau metode yang dapat menyingkap dan memperjelas bahkan menentukan suatu hukum.
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan pendapat untuk menetapkan suatu hukum terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang belum jelas atau yang tidak dijelaskan secara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan pendapat yaitu: penggunaan pendapat yang msih merujuk kepada nash dan penggunaan pendapat secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana disebut qiyas.
Dasar pemikiran qiyas itu adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab. Hampir dalam setiap hukum diluar bidang ibadat dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum itu oleh Allah. ‘illat adalah patokan utama dalam menetapkan hukum atau permasalahan, Obyek masalah adalah sesuatu yang tidak memiliki nash. Atas dasar keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah, maka setiap muslim meyakini bahwa setiap kasus atau peristiwa yang terjadi pasti ada hukumnya. Sebagian hukum dapat dilihat secara jelas dalam nash syara’, namun sebagian yang lain tidak jelas.


B. Rumusan Masalah
1. Apa Sajakah Yang Menjadi Dasar Hukum Qiyas?
2. Apakah Syarat-Syarat Qiyas?
3. Apa Saja Rukun Qiyas?
4. Bagaimanakah Pembagian Qiyas?

C. Tujuan
1. Menemukan Dasar Hukum Qiyas
2. Mengetahui Syarat-syarat Qiyas
3. Mengetahui Rukun Qiyas
4. Menemukan Rukun Qiyas




BAB II
PEMBAHASAN


A. PENGERTIAN QIYAS
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur (التقدير), persamaan (المساوة), mengetahui dengan anggapan (الإعتبار), seperti kalimat قست الارض بالمتر “Aku mengukur tanah dengan satuan meter”, قست الثوب بالذراع “Aku mengukur baju dengan menggunakan siku/hasta”. qiyas mengharuskan adanya dua perkara, yang salah satunya disandarkan kepada yang lain secara sama. Dapat ditarik sebuah kesimpulan, Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.
            Qiyas menurut istilah ushul figh adalah menyertakan suatu perkara terhadap perkara yang lainnya dalam hukum syara’ karena terdapat kesamaan ‘illat diantara keduanya. Yang menyebabkan adanya qiyas adalah adanya kesamaan antara al-maqis (perkara yang diqiyaskan) dengan al-maqis alaih (perkara yang diqiyasi) dalam satu perkara, yakni adanya penyatu antara keduanya. Perkara tersebut adalah ‘illat.
            Ada beberapa defenisi tentang qiyas yang telah dikemukakan oleh para ulama Ushul Figh, kadang berbeda rumusannya namun maksudnya tetap sama.
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan :
إلحاق أمر غير منصوص علي حكمه الشرعي بأمر منصوص علي حكمه لإشتراكهما في علة الحكم.
“menyatukan sesuatu yang tidak desebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illat hukum antara keduanya”.
Dari defenisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul figh dapat diambil gambaran bahwasanya qiyas sebagai metode yang dapat menyingkap dan memperjelas bahkan menentukan sesuatu hukum, ‘illat adalah patokan utama dalam menetapkan hukum atau permasalahan, Obyek masalah adalah sesuatu yang tidak memiliki nash.

            Qiyas dapat juga diartikan menurut analogi. Sebuah prinsip untuk menerapkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an, ketetapan sunnah nabi pada permasalahan yang tidak jelas keteapannya di dalam kedua sumber hukum islam. Atau mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya.

B. DASAR HUKUM QIYAS
            Sebagian besar ulama figh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran islam. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam hal kadar penggunaan qiyas dan macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya, dan ada yang tidak membatasinya, dan semua itu baru mereka lakukan apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
            Hanya sebagian kecil ulama yang tidak memperbolehkan penggunaan qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi’ah. Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an, al-Hadits dan perbuatan sahabat, yaitu :
1. al-Qur’an
            Allah SWT berfirman :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (an-Nisa’:59)
            Dari ayat diatas dapat diambil pengertian bahwa Allah SWT. Memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Jika tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits maka hendaklah mengikuti pendapat Ulil Amri. Jika tidak ada pendapat dari Ulil Amri, boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

2. al-Hadits
            setelah Rasulullah melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubenur Yaman, beliau bertanya kepadanya: Artinya
"Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
            Hadits ini dapat dipahami bahwa seseorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.

3. Perbuatan Sahabat
Para sahabat nabi SAW. Banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alas an pengangkatan khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah disbanding sahabat-sahabat yang lain. “kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah terhadap pendapatmu yang paling baik disisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran”.
C. SYARAT QIYAS
1.  Maqis alaihi (tempat menqiyaskan sesuatu kepadanya). Syarat-syaratnya
·         harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan mengqiyaskan sesuatu kepadanya, baik secara nau’I atau syakhsi (lingkungan yang sempit atau terbatas).
·         harus ada kesepakatn ulama tentang adanya illat pada ashal maqis alaih itu.
2. Maqis (sesuatu yang akan dipersamakan hukumnya dengan ashal)
·         illat yang terdapat pada furu memiliki kesamaan dengan illat yang terdapat pada ashal.
·         harus ada kesamaan antara furu itu dengan ashal dalam hal ilat maupun hukuum baik yang menyangkut ain atau jenis dalam arti sama dalam ain illat atau sejenis illat dan sama dalam ain hokum atau jenis hukum.
·         Ketetapan pada hukum tidak menyalahi dalil qat’i.
·         Tidak terdapat penentang hukum lain yang lebih kuat terhadap hukum pada furu dan hukum dalam penentang itu berlawan dengan illat qiyas itu.
·         Furu itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu.
·         Furu itu tidak mendahului ashal dalam keberadaannya.

D. RUKUN QIYAS
1. Ashal
Ashal adalah merupakan obyek yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat Alquran, Hadis Rasulullah saw, atau Ijma’. Adapun syarat-syaratnya yaitu:
  • Bukan hasil hukum melalui qiyas. Contohnya yang salah, jambu diqiyaskan dengan apel dalam pengharaman riba, illatnya karena sama-sama dimakan, pendapat apel qiyasan dari kurma.
  • Nash itu tidak dikhususkan kepada obyek tertentu. Contoh Rasul dibolehkan kawin lebih dari empat.
  • Tidak ada nash yang menjelaskan far’un.
  • Hukum ashal terdahulu dari hukum far’un, contoh yang salah wudhu diqiyaskan dengan tayammum karena thahara pada hal wudhu lebih dahulu dari pada Tayammum.

2. Far’u
Far’u adalah obyek akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya. Syarat-syaratnya:
  • Ada persamaan ‘illat antara ushul dan far’u, contoh anggur karena ‘illat yang ada padanya sama dengan ‘illat khamar yaitu memabukkan.
  • Hukum ashal itu tetap ada (tidak mansukh).
  • Hukum  far’u datang setelah hukum ashal.
  • Far’u tersebut atau ijma’ yang meneguhkan hukumnya.

3. Hukum Ashal
            Hukum Ashal adalah hokum syara’yang ditentukan oleh nash atau ijma’ yang akan diberlakukan kepada far’u, seperti keharaman meminum khamar. Adapun hukum yang ditetapkan pada far’u pada dasarnya merupakan buah (hasil) dari qiyas dan karenanya tidak termasuk rukun. Syarat Hukum Asal:
a) Harus berupa hukum syara’ dengan dalil dari al-Quran, Sunnah atau ijma sahabat.
b) Dalil yang menunjukkan hukum asal tidak boleh  mencakup cabang
c) Hukum asal harus mempunyai ‘illat  tertentu  yang tidak samar
d) Hukum asal tidak boleh lebih akhir datangnya dari hukum cabang
e) Hukum asal tidak boleh dipindahkan dari sunnah-sunnah qiyas. Maksudnya, jika telah disyariatkan  sejak dari awalnya dan tidak ada pembandingnya, seperti halnya keringanan safar, atau maknanya tidak dapat dipahami  dan dikecualikan dari kaidah umum, seperti persaksiannya Khuzaimah yang bisa menggantikan  dua orang saksi, atau dimulai dengannya dan tidak dikecualikan dari kaidah apapun, seperti bilangan rakaat dan ukuran hudud.

4. ‘Illat
            illat  adalah sesuatu  yang karena keberadaannya, maka hukum menjadi ada. Juga disebut perkara yang  memunculkan hukum, berupa tasyri’(pensyariatan suatu hukum). Illat adalah  dalil, tanda dan yang memberitahu adanya hukum. ‘illat-lah yang membangkitkan hukum. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-Gazali tentang definisi ‘illat:
المؤثر في الحكم بجعله تعالى لابالذات
Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas perbuatan syari’.
Menurutnya, ‘illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab adanya hukum, dalam arti: adanya suatu ‘illat menyebabkan munculnya hukum. Imam al-Gazali berpendapat bahwa pengaruh ‘illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus karena adanya izin Allah.
Sedangkan menurut Mu’tazilah, ‘illat adalah sifat yang secara langsung mempengaruhi hukum, bukan atas kehendak Allah. Menurut mereka ,‘illat itulah yang menyebabkan hukum itu disyari’atkan, dan syari’ dalam hal ini harus mengikuti ‘illat tersebut. Oleh sebab itu, suatu hukum tidak tergantung kepada syari’, tetapi tergantung kepada ‘illatnya. Misalnya, pembunuhan sengaja, secara logika, menjadi penyebab wajibnya seseorang diqishash. Dalam hal ini tidak perlu campur tangan syari’, karena menurut mereka, berdasarkan akal saja hal ini telah dapat diketahui. Karena adanya pembunuhan sengaja ini, maka Allah “wajib” menentukan hukuman qishash untuk menghindari orang melakukan kemafsadatan dan agar tercapai kemaslahatan.

A. Syarat ‘illat:
  •  ‘illat tersebut harus jelas dan dirasakan dengan panca indra seperti kadar bilangan yang lebih dalam harta yang mengandung riba.
  • ‘illat itu dapat teraplikasikan dalam far’u contoh membunuh orang yang mewariskan sama jika membunuh orang yang memberi wasiat.
  • Dapat mewujudkan hukum demi mencapai kemaslahatan dan menjauhi mudharat. Contoh mabuk dapat dijadikan standar untuk mengharamkan minuman selain khamar.
  • Tidak membatasi ‘illat itu pada asal-nya saja. Contoh pernikahan Rasul tidak bisa dijadikan ‘illat untuk orang lain.

B. Pembagian ‘illat
            Pembagian ‘illat ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari’) tentang sifat sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kedalam empat bagian:
(a.) Munasib Mu’tsir
            Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara’ dengan sempurna, ataun dengan perkataan lain bahwa pencipta hukum (syari’) telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman Allah SWT. artinya:
“mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari diwaktu haid. “(al-Baqarah:222)
            Pada ayat diatas  Allah SWT. (sebagai syari’) telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang sedang haid. sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah SWT. di atas sebagai ‘illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.
(b.) Munasib Mulaim
            Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara’ pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak diungkapkan syara’ sebagai ‘illat hukum pada masalah yang sedang dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai ‘illat hukum dan disebut dalam nash pada masalah lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi.
(c.) Munasib Mursal
            Ialah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara’. Munasib mursal berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum pada dasarnya mendatangkan kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang menyatakan bahwa syara’ membolehkan atau tidak membolehkannya, seperti membukukan al-Qur’an atau mushhaf, tidak ada dalil yang membolehkan atau melarangnya. Tetapi khalifah Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya bagi seluruh kaum muslimin, yaitu al-Qur’an tidak lagi berserakan karena telah tertulis dalam satu buku serta dapat menghindarkan kaum muslimin dari kemungkinan terjadinya perselisihan tentang dialeg al-Qur’an.
(d.) Munasib Mulghaa
            Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh syara’ sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan pada dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Oleh karena itu syara’ tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat atau ‘illat tersebut, bahkan syara’ memberi petunjuk atas pembatalan sifat tersebut. Sebagai contohnya, ialah kedudukan laki-laki dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas dasar persamaan itu mungkin dapat ditetapkan pula persamaan dalam warisan. Tetapi syara’ mengisyaratkan pembatalannya dengan menyatakan bahwa bagian laki-laki adalah dua kali bagian perempuan.

C.Fungsi ‘Illat
·         Penyebab atau penetap yaitu ‘illat yang dalam hubungannnya dengan hukum merupakan penyebab atau penentap adanya hukum, baik dengan nama mu’arif, muassir, atau baits.
·         Penolak, yaitu ‘illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya ‘illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah beraku.
·         Pencabut, yaitu ‘illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila ‘illat itu terjadi dalam masa tersebut.
·         Penolak atau pencegah, yakni ‘illat yang hubungannya dengan hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung.

D. Musalikul ‘illat (cara mencari ‘illat)
            Musalikul ‘illat, ialah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian  yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Diantara cara tersebut ialah:
a. Nash yang menunjukkannya,
b. Ijma’ yang menunjukkannya,
c. Dengan penelitian, yang meliputi
1. Munasabah
2. Assabru Wa Taqsim
3. Tanqihul Manath
4. Tahqiqul Manath

1. Nash yang menunjukkannya
            Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat menerangkan ‘illat hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. ‘illat yang demikian disebut ‘illat manshuh ‘alaih. Melakukan qiyas berdasarkan ‘illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan hukum suatu dasar nash.
            Petunjuk nash tentang sifat suatu peristiwa atau kejadian yang merupakan ‘illat itu ada dua macam, yaitu sharahah (jelas), dan ima’ atau isyarah (dengan isyarat).
1) Dalalah Sharahah
            Ialah penunjuk lafadh yang terdapat dalam nash kepada “illat hukum jelas sekali. Atau dengan perkataan lain bahwa lafadh nash itu sendiri menunjukkan ‘illat hukum dengan jelas, seperti ungkapan yang terdapat dalam nash: supaya demikian atau sebab demikian dan sebagainya. Dalalah Sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath’I dan yang kedua ialah dalalah sharahah yang dhanni.
            Dalalah sharahah yang qath’i ialah apabila penunjukan kepada ‘illat hukum itu pasti dan yakin, seperti firman Allah SWT,

Artinya: “(mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu...” (an-Nisa’:165)
            Ayat ini menyatakan bahwa ‘illat diutus para rasul yang membawa kabar gembira dan member peringatan itu ialah agar menusia tidak mencari-cari alasan dengan mengatakan bahwa mereka belum pernah mendapat peringatan dari rasul yang diutus kepada mereka. Perkataan li-alla yakuna dan ba’darrasul merupakan ‘illat hukum yang pasti, tidak mungkin dialihkan kepada yang lain.
            Dalalah  shrahah yang dhanni, ialah apabila penunjuk nash kepada ‘illat hukum itu adalah berdasar dengan keras (dhanni), karena kemungkinan dapat dibawa kepada ‘illat hukum yang lain. Seperti firman Allah SWT, yang artinya: “Dirikanlah shalat karena matahari tergelincir sampai gelap malam.” (al-Isra’;78)
Dan firman Allah SWT, artinya:
“Maka disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi merka” (an-Nisa’:160).
            Pada ayat pertama terdapat huruf al-lam pada perkataan liduluki dan huruf al-ba’ pada perkataan fabidhulmi. Al-lam berarti karena dan dapat pula berarti sesudah, sedang al-ba’ berarti disebabkan dan dapat pula berarti dengan. Kedua arti tersebut dapat digunakan, akan tetapi menurut dugaan yang keras bahwa jika kedua huruf itu diartikan dengan karena dan disebabkan maka akan memperjelas arti ayat tersebut.

2) Dalalah Ima’ (Isyarah)
          Ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada suatu sifat yang menyertai petunjuk itu dan sifat itu merupakan ‘illat ditetapkannya suatu hukum jika penyertaan sifat itu tidak dapat dipahamkan demekian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu. Ada beberapa macam dalalah ima’, diantaranya ialah:
a. Mengerjakan suatu pekerjaan karena terjadi suatu peristiwa sebelumnya. Seperti Nabi Muhammad SAW, mangerjakan sujud sahwi, karena beliaau lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat. Nabi Muhammad SAW, memerintahkan seseorang memerdekakan budak, karena ia telah bercampur dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadhan. Dari contoh diatas jelas bahwa karena ada peristiwa lupa menjadi ‘illat dilakukan sujud sahwi. Karena bercampur dengan isteri pada siang hari bulan Ramadhan menjadikan ‘illat untuk memerdekakan budak.
b. Menyebutkan suatu sifat bersama (sebelum atau sesudah) dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai “illat tentulah tidak perlu disebutkan. Contohnya, adalah Nabi Muhammad SAW, bersabda: “seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan ia sedang marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
            Dari Hadits diatas dipahamkan bahwa sifat marah disebut bersamaan dengan larangan member keputusan antara dua orang berperkara yang merupakan ‘illat dari larangan mengadili perselisihan itu.
c. Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, seperti sabda Rasulullah SAW,: “Barang berjalan kaki mendapat satu bagian, sedang barisan berkuda mendapat dua bagian.” (HR. Bukhari dan Muslim). Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi ‘illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.
d. Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT,: “...Dan  jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka kepada mereka berikanlah upahnya...” (ath-Thalak:6). Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat (‘illat) wajibnya pemberian nafkah kepada isteri yang ditalak bain dan menyusukan anak menjadi syarat (‘illat) pemberian upah menyusukan anak.
e. Membedakan antara dua hukum dan batasan (ghayah), sebagaimana firman Allah SWT,: “…dan janganlah kamu mendekati mereka sehingga mereka suci.” (al-Baqarah: 222). Pada ayat ini diterangkan bahwa kesucian mereka batas (‘illat) kebolehan suami mencampuri isteri.
f. Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian (istimewa), sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah…” (al-Baqarah: 237). Pada ayat ini diterangkan bahwa memaafkan merupakan pengecualian (‘illat) hapusnya kewajiban membayar mas kawin.
g. Membedakan dua hukum dengan pengecualian (istidrak) sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (al-Maidah:89.)
            Pada ayat ini Allah SWT, membedakan hukum dua perbuatan, yaitu perbuatan berupa sumpah yang tidak disengaja dan perbuatan berupa sumpah yang disengaja. Kesengajaan bersumpah dijadikan “illat untuk menetapkan hukum.

2. Ijma’ yang menunjukkan
            Maksudnya, ialah ‘illat itu ditetapkan dengan ijma’, belium baligh (masih kecil) menjadikan ‘illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal itu disepakati oleh para ulama.

3. Dengan Penelitian
            Ada bermacam cara penelitian itu dilakukan, yaitu:
1) Munasabah
            Munasabah ialah persesuaian antara suatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau larangan. Persesuaian tersebut ialah persesuaian yang dapat diterima akal, karena persesuaian itu ada hubungannya dengan mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau kemudharatan bagi manusia. Allah SWT, menciptakan syari’at bagi manusia ada maksud dan tujuannya, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Agar maksud dan tujuan itu tercapai maka syari’at membagi perbuatan manusia atas tiga tingkatan, yaitu:
(a) Tingkat dharuri (yang harus ada)
(b) Tingkat haji (yang sangat diperlukan), dan
(c) Tingkat tasini (yang baik sekali dikerjakan)
Tingkat pertama lebih utama dari pada tingkat kedua, tingkat kedua lebih utama dari pada tingkat katiga.
(a) Tingkat Dharuri
            Tingkat dharuri adalah hal-hal yang harus ada, tidak boleh tidak ada dalam usaha tentulah akan rusak menegakkan agama islam dan kepentingan umum. Apabila hal itu tidak ada dan binasa dunia ini.
            Tingkat dharuri ini mempunyai pula lima tingkat, tingkat pertama lebih utama, kemudian tingkat kedua, setelah itu tingkat ketiga, setelah itu keempat dan terakhir tingkat kelima. Bila tingkat pertama berlawanan dengan tingkat kedua maka dimenangkan timgkat pertama. Demikianlah seterusnya sampai tingkat kelima.
Kelima tingkat itu ialah:
·         Memelihara agama (hifzdu dien), untuk maksud ini maka Allah SWT, memerintahkan kaum muslimin agar menegakkan syi’ar-syi’ar Allah, seperti mendirikan shalat yang lima waktu, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya.
·         Memelihara jiwa (hifzdu nafs), untuk ini dilarang membunuh jiwa, termasuk jiwa sendiri, disyari’atkan hukum qishash dan sebagainya.
·         Memelihara akal (hifzdu aqli), untuk ini diharamkan minum khamar dan semua perbuatan yang dapat merusak akal.
·         Memelihara keturunan (hifzdu nasl), untuk ini dilarang zina dengan menjatuhkan hukuman berat bagi pelakunya, dan
·         Memelihara harta (hifzdu mal), untuk ini ditetapkan hukum potong tangan bagi pencuri, hukuman berat bagi perampok dan sebagainya.
(b) tingkat haji
            Manusia dalam kehidupannya ada yang dalam keadaan lapang dan ada yang dalam keadaan sukar dan sempit, terutama dalam menghadapi kewajiban dan memikul beban yang ditugaskan dan dibebankan Allah SWT, kepada mereka. Bagi orang-orang yang yang dalam keadaaan kesempitan dan kesukaran Allah SWT, selalu member kelapangan dan kemudahan bagi mereka. Seandainya kemudahan dan kerinanan itu tidak diberikan, kehidupan manusia akan terasa sulit dan sengsara. Haji terdapat pada:
·         Ibadat, seperti boleh mengqadha puasa bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau musafir, boleh mengqashar shalat bagi orang yang dalam keadaan takut atau musafir, boleh tayamum bagi orang yang tidak memperoleh air dan sebagainya.
·         Mu’amalat, seperti boleh melakukan salam, ijarah dan sebagainya.
·         Adat, seperti boleh berburu.
 (c) Tingkat Tahsini
Tahsini adalah segala sesuatu yang baik dikerjakan terutama yang berhubungan dengan akhlak dan susila. Kalau disini ada, kehidupan manusia akan tinggi nilainya dan terasaindah, tetapi kalau tahsini tidak ada kehidupan manusia tidak akan rusak. Diantara contoh tahsini ialah:
·         Dalam ibadat, seperti berhias dalam mengerjakan shalat, mengerjakan perbuatan yang sunnah dan sebagainya,
·         Adat, seperti sopan santun dalam pergaulan hormat-menghormati dan sebagainya,
·         Mu’amalat, seperti menghindarkan diri dari menjual najis.
            Dalam munasabah diperlukan ketajaman untuk meneliti mana yang termasuk tingkat dharuri, mana yang tingkat haji dan mana yang termasuk tingkat tahsini. Dengan mengetahui tingkat perbuatan itu maka hukum yang berhubungan dengan dharuri harus lebih diutamakan menjalankannyajika brelawanan dengan perbuatan haji atau tahsini, seperti membunuh jiwa termasuk mengilangkan jiwa diharamkan oleh Allah. Tetapi membunuh jiwa dalam peperangan dibolehkan untuk menegakkan agama. Meminum khamar diharamkan karena merusak akal, tetapi meminum khamar itu dibolehkan untuk berobat, sehingga jiwa terpelihara.

2) Assabru Wa Taqsim
            Assabru berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi atau memisah-misahkan. Assabru wa taqsim maksudnya ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian, kemudian memisahkan atau memilih diantara sifat-sifat itu yang paling tepat dijadikan sebagai ‘illat hukum. Assabru wa taqsim dilakukan apabila ada nash tentang suatu peristiwa atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau ijma’yang menerangkan ‘illatnya.
a) Rasulullah SAW, mengharamkan riba fadhli, yaitu menukar benda-benda tertentuyang sejenis dengan takaran atau timbangan yang berbeda, berdasarkan sabda beliau “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, padi belanda dengan padi belanda, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama jenisnya, sama ukurannya lagi koontan. Apabila berbeda jenisnya, maka juallah menurut kehendakmu, bila itu dilakukan dengan kontan.” (HR. Muslim)
            Dalam menetapkan haramnya riba fadhli sesuai dengan hadits diatas, tidak ada nash yang lain atau ijma’ yang menerangkan ‘illatnya. Karena itu perlu dicari ‘illatnya dengan assabru wa taqsim.
b) Sepakat para ulama bahwa para wali mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, tetapi tidak ada nash yang menerangkan ‘illatnya. Diantara sifat yang mungkin dijadikan ‘illat, ialah belum baligh, gadis (bikr) dan belum dewasa (rusyd). Pada ayat 6 surat an-Nisa’ belum dewasa dapat dijadikan ‘illat seorang wali menguasai harta seoranga anak yatim yang belum dewasa. Karena itu ditetapkanlah belum dewasa itu sebagai ‘illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan yang berada dibawah perwalian.

3) Tnqihul manath
            Tabqihul manath, ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada fara’ dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat ynag sama dijadikan sebagai ‘illat, sedang sifat yang tidak sama diinggalkan. Sebagai contoh ialah, pada ayat 25 surat an-Nisa’ diterangkan bahwa hukuman yang diberikan kepada budak perempuan adalah separuh budak laki-laki. Setelah dikumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya maka yang sama ialah sifat kebudakan. Karena itu ditetapkan bahwa sifat kebudakan itu sebagai ‘illat untuk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak laki-laki sama dengan yang diberikan kepada budak perempuan, yaitu separuh dari hukuman yang diberikan kepada orang yang merdeka.

4) Tahqiqul manath
            Tahqiqul manath, ialah menetapkan ‘illat. Maksudnya ialah sepakat menetapkan ‘illat pada ashal, baik berdasarkan nash atau tidak. Kemudian ‘illat itu disesuaikan dengan ‘illat pada fara’. Dalam hal ini mungkin ada yang berpendapat bahwa ‘illat itu dapat ditetapkan pada fara’ dan mungkin pula ada yang tidak berpendapat demikian. Contohnya, ialah ‘illat potong tangan bagi pencuri, yaitu karena ia mengambil harta secara sembunyi pada tempat penyimpanannya, hal ini disepakati para ulama. Berbeda pendapat para ulama jika ‘illat itu diterapkan pada hukuman bagi pencuri kain kafan dari kubur. Menurut Syafi’iyyah dan Malikiyah pencuri itu dihukum potong tangan, karena mengambil harrta ditempat penyimpanannya, yaitu dalam kubur sedang Hanafiyah tidak menjadikan sebagai ‘illat, karena itu pencuri kain kafan tidak dipotong tangannya.

E. PEMBAGIAN QIYAS
            Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi, yaitu:
1. Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’ dibandingkan dengan yang terdapat pada ashal. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga bentuk, yaitu:
a.) Qiyas al-Aulawi
            Qiyas al-Aulawi (القياس الاولوي), yaitu qiyas yang hukumnya pada furu’ lebih kuat dari pada hukum ashl, karena ‘illat yang terdapat pada furu’ lebih kuat dari yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan memukul kepada ucapan “ah.”
Dalam surat al-Isra’,17:23 Allah berfirman:
لا تقل لهما اف… yang artinya: “...jangan katakan kepada keduanya (orang tua) kata “ah”
            Para ulama ushul fiqh mengatakan bahwa ‘illat larangan ini adalah menyakiti orang tua. Keharaman memukul orang tua lebih kuat dari pada sekedar mengatakan “ah”, karena sifat “menyakiti” melalui pukulan lebih kuat dari pada ucapan “ah.”
b.) Qiyas al-Musawi
            Qiyas al-Musawi (القياس المساوي), yaitu hukum pada furu’ sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama. Misalnya, Allah berfirman dalam surat al-Nisa’, 2:2
واتوا اليتامى اموالكم ولا تتبدلوا الخبيث بالطيب ولا تاكلوا اموالكم...
Artinya: “Dan berikanlah anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu...”
            Ayat ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar. Para ulama ushul fiqh, mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta secara tidak wajar, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, kedua sikap itu sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara lazim.
c.) Qiyas al-Adna
            Qiyas al-Adna (القياس الادنى), yaitu ‘illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada ashl. Artinya, ikatan ‘illat yang ada pada furu’ sangat lemah dibanding ikatan ‘illat yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung ‘illat yang sama, yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadits Rasulullah saw. Dikatakan bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitas, maka perbedaan itu menjadi riba fadhl. Dalam hadits tersebut, diantaranya disebutkan gandum (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu, Imam al-Syafi’i mengatakan bahwa dalam jual beli apel pun bisa berlaku riba fadhl. Akan tetapi, berlakunya hukum riba pada apel lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum, karena ‘illat riba al-fadhl pada gandum lebih kuat.

2. Dari segi kejelasan ‘illat yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi kepada dua macam, yaitu:
a.) Qiyas al-Jaliy
            Qiyas al-Jaliy (القياس الجالي), yaitu qiyas yang ‘illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum al-ashl, atau nash tidak menetapkan ‘illatnya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu’.
            Contoh ‘illat yang ditetapkan nash bersamaan dengan hukum ashl adalah mengqiyaskan memukul orang tua kepada ucapan “ah” yang terdapat dalam surat al-Isra’,17:23 yang telah disebutkan diatas, yang ‘illatnya sama-sama menyakiti orang tua.
            Contoh ‘illat yang tidak disebutkan nash beesamaan dengan hukum ashl adalah mengqiyaskan budak yang perempuan kepada budak yang laki-laki dalam masalah memerdekakan mereka. Antara keduanya, sebenarnya terdapat perbedaan, yaitu perbedaan jenis kelami. Akan tetapi, dapat dipastikan bahwa perbedaan ini tidak berpengaruh dalam hukum memerdekakan budak. Oleh sebab itu, apabila seseorang mengatakan aka memerdekakan budaknya, maka pernyataan itu berlaku sama, baik untuk budak laki-laki maupun budak perempuan.
            Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa qiyas al-Jaliy ini mencakup qiyas al-Aulawi dan qiyas al-Musawi dalam pembagian qiyas yang pertama di atas.
b.) Qiyas al-Khafiy
            Qiyas al-Khafiy (القياس الخافي), yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nash. Contohnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam memberlakukan hukum qishash, karena ‘illatnya sama-sama pembunuhan disengaja dengan unsure permusuhan. Dalam kasus seperti ini, ‘illat pada hukum ashl, yaitu pembunuhan dengan benda tajam, lebih kuat dari pada ‘illat yang terdapat pada furu’, yaitu pembunuhan dengan benda keras. Qiyas al-Adna yang dikemukakan pada pembagian pertama termasuk ke dalam qiyas al-khafiy ini.

3. Dilihat dari keserasian ‘illat dengan hukm, qiyas terbagi atas dua bentuk, yaitu:
a.) Qiyas al-Mu’atsir
            Qiyas al-mu’atsir (القياس المؤثر), yaitu qiyas yang menjadi penghubung antara ashl dengan furu’ ditetapkan melalui nash sharih atau ijma’, atau qiyas yang ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashl dengan furu’ berpengaruh pada hukum itu sendiri.
b.) Qiyas al-Mula’im
            Qiyas al-mula’im (القياس الملائم), yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashlnya mempunyai hubungan yang serasi. Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat dengan benda tajam yang telah disebutkan di atas. ‘illat pada hukum ashl mempunyai hubungan yang serasi.

4. Dilihat dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut, qiyas dapat dibagi kepada tiga bentuk, yaitu:
a.) Qiyas al-Ma’na (قياس المعنى)
            Atau qiyas pada ma’na ashl, yaitu qiyas yang didalamnya tidak dijelaskan ‘illatnya, tetapi antara ashl dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ seakan-akan ashl.
b.) Qiyas al-‘illat (قياس العلة)
            Yaitu qiyas yang dijelaskan ‘illatnya dan ‘illat itu sendiri merupakan motivasi bagi hukum ashl.
c.) Qiyas al-Dalalah (قياس الدلالة)
            Yaitu qiyas yang ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, tetapi ‘illat itu merupakan keharusan yang memberi petunjuk adanya ‘illat.

5.  Dilihat dari segi metode (masalik) dalam menemukan ‘illat, qiyas dapat dibagi kepada :
a.) Qiyas al-Ikhalah (قياس الاخالة), yaitu yang ‘illatnya ditetapkan melalui munasabah dan ikhalah.
b.) Qiyas al-Syabah (قياس الشبه), yaitu yang ‘illatnya ditetapkan melalui metode syabah.
c.) Qiyas al-Sibru (قياس السبر ), yaitu yang ‘illatnya ditetapkan melalui metode al-sibr wa al-taqsim. Dan
d.) Qiyas al-Thard (قياس الطرد), yaitu yang ‘illatnya ditetapkan melalui metode thard. Contoh-contoh dari qiyas ini telah dikemukakan di atas.
F. Kritik Terhadap Qiyas
            Para ulama ushul fiqh mengemukakan beberapa kritikan atas kelemahan  qiyas dalam menghasilkan suatau hukum dari kasus yang sedang dihadapi. Kritikan terhadap qiyas tersebut, menurut Fakhruddin al-Razi (ahli ushul fiqh syafi’iyyah), ada empat bentuk, menurut Ibn al-Hajib ada dua puluh lima bentuk, tetapi pada dasarnya bias dikembalikan pada dua bentuk saja, dan al-Syaukani mengemukakan dua puluh delapan bentuk. Akan tetapi, al-Bazdawi mengemukakan bahwa kritikan terhadap qiyas pada intinya ada dua segi, yaitu mumana’ah dan mu’aradhah.
1. Mumana’ah
            Mumana’ah terdapat tiga bentuk, yaitu:
a.  Man’u al-Hukum fi al-ashl
             منع الحكم في الاصلMaksudnya, seorang mujtahid mengemukakan kririk bahwa ia tidak menerima adanya hukum pada ashl. Misalnya, ulama syafi’iyyah mengqiyaskan hukum wajib mencuci bejana yang dijilat babi sebanyak tujuh kali. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
اذا ولغ الكلب اناء احدكم فليغسل سبع مرات احداهن بالتراب
“Apabila bejana seseorang diantara kamu dijilat anjing, maka cucilah sebanyak tujuh kali, salah satu diantaranya dengan tanah” (HR. Muslim dan Nasa’i dari Abu Hurairah).
            Akan tetapi ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Zahiriyyah mengkritik ulama Syafi’iyyah dengan mengatakan bahwa ketetapan hukum pada ashl itu tidak ada, karena hadits mudhtharib dan hadits muththarib tidak dapat dijadikan landasan hukum. Ke-iththirab-an hadits tersebut menurut mereka, terletak pada bilangan mencuci bejana yamg dijilat anjing tersebut, yaitu ada hadits yang menyatakan tujuh kali, ada yang menyatakan lima kali, dan dalam hadits lain dikatakan tiga kali.
b. Man’u wujud al-washfi fi al-ashl
            منع وجود الوصف في الاصل Maksudnya, seorang mujtahid tidak mengakui keberadaan sifat pada ashl tempat meng-qiyas-kan. Misalnya, ulama Syafi’iyyah dan sebagian ulama Malikiyyah mengatakan bahwa tata urutan (tertib) dalam mencuci anggota wudhu’ adalah wajib, dan batalnya wudhu’ karena adanya hadats. Mereka meng-qiyas-kan wajibnya tertib dalam berwudhu’ kepada tertib amalan yang dilakukan dalam shalat, karena keduanya sama-sama ibadah. Akan tetapi ulama Hanafiyyah dan sebagian ilama Malikiyyah mengemukakan kritikan bahwa sifat hadats dalam al-ashl, yaitu shalat, tidak ada karena hadats itu sendiri, menurut mereka tidak membatalkan shalat. Yang dibatalkan oleh hadats adalah thaharah, sekalipun dengan batalnya thaharah membatalkan shalat.
c. Man’u kaun al-washfi ‘illatan
             منع كون الوصف علةMaksudnya, pengeritik mengatakan ia tidak menerima sifat yang dianggap sebagai sebagai ‘illat itu sebagai ‘illat. Misalnya, ulama Hanafiyyah mengatakan, wanita budak yang dimerdekakan orang merdeka mempunyai hak pilih (khiyar) sebagaimana berlaku pada budak yang laki-laki. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah saw. yang mengatakan:
ملكت نفسك فاختاري
“Engkau bebas memilih diri engkau, maka pilihlah (bebas atau tetapsebagai budak. (HR. Ahmad bin Hanbal dan al-Daruquthni dari Aisyah)
            Akan tetapi, ulama Malikiyyah mengatakan kebebasan yang diberikan tuannya terhadap dirinya, bukan sebagai ‘illat untuk bebas memilih bagi budak wanita tersebut.
2. Mu’aradhah
            Terdapat tiga bentuk mu’aradhah, yaitu:
a. Mu’aradhah fi al-ashl
             معارضة في الاصلMisalnya, ulama Syafi’iyyah meng-qiyas-kan apel pada gandum dalam hal pemberlakuan riba fadhl, karena keduanya mempunyai ‘illat yang sama, yaitu jenis makanan. Akan tetapi ulama Malikiyyah mengatakan bahwa “jenis makanan” bukanlah ‘illat, karena yang menjadi ‘illat pada gandum itu, menurut mereka adalah “makanan pokok” dan apel bukan sebagai makanan pokok. Namun ulama Syafi’iyyah menjawab dengan mengatakan bahwa “jenis makanan” itu adalah ‘illat, karena disebutkan melalui cara al-ima’ dalam hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan Muslim dan Ahmad ibn Hanbal dari Ma’mar ibn ‘Abdullah.
b. Mu’aradhah al-washfi fi al-furu’
             معارضة وجود الوصف الفرعMaksudnya, pengeritikan menyatakan penolakannya terhadap kevalidan suatu sifat yang dijadikan ‘illat pada ashl.
c. Mu’aradhah fi al-far’u min ma yaqtadhi naqid al-hukum
             معارضة في الفرع بما يقتضي نقيضي الحكمMaksudnya,  pengeritikan mengemukakan bahwa terdapat pertentangan dalam furu’ yang membawa kepada pembatalan hukum ashl.

G. Kehujjahan Qiyas
Mazhab pertama, Jumhur ulama berpendapat bahwa qiyas adalah hal yang boleh terjadi secara akal sehat dan mengamalkannya adalah wajib, dengan hujah bahwa qiyas bukan hal yang mustahil ada, semua yang tidak mustahil ada tentu boleh. Dengan demikian qiyas adalah boleh terjadi.
Mazhab kedua, Mu’tazilah. Qiyas adalah hal yang wajib ada dan mengamalkannya pun wajib dengan hujah bahwa teks agama belum keseluruhannya mencakup permasalahan yang baru, sementara permasalahan itu perlu ada penyelesaiannya secara sah menurut hukum agama, jika permasalahan itu dibiarkan, maka agama Islam tidak sanggup mengikuti perkembangan zaman yang canggih sehingga qiyas wajib ada.
Mazhab yang ketiga, Daud al-Isfahani, Nahrawani, dan sebagainya. Berpendapat bahwa qiyas adalah wajib jika hukum ashal itu memiliki teks yang jelas atau hukum permasalahan yang baru itu lebih utama dari ashalnya, dengan hujah bahwa illat dalam teks tentu punya faedah, dan faedah itu dapat mempersamakan antara ashal dan far’un.
Mazhab keempat, Syi’ah. Qiyas adalah hal yang mustahil terjadi dengan hujah bahwa syariat sudah memperjelas hal yang serupa dan diberikan keistimewaan yang ada adanya. Adapun dalil naqli yang mereka perpedomani adalah surah al-Hujurat ayat 1, al-Isra’ ayat 36, Yunus ayat 36.


BAB III
PENUTUP

Simpulan
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan pendapat untuk menetapkan suatu hukum terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang belum jelas atau yang tidak dijelaskan secara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan pendapat yaitu: penggunaan pendapat yang masih merujuk kepada nash dan penggunaan pendapat secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash.
Hal-hal atau kasus yang ditetapkan Allah sering kali mempunyai kesamaan hukum dengan kasus lain yang tidak ditetapkan hukumnya atau tidak dijelaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun peristiwa lain tersebut tidak dijelaskan hukumnya oleh Allah, namun karena adanya kesamaan dalam hal sifatnya dengan peristiwa lain yang ditetapkan hukumnya dan dijelaskan dalam dua sumber hukum, maka hukum yang sudah ditetapkan dapat diberlakukan kepada kasus lain memiliki kemiripan.
Atas dasar keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah, maka setiap muslim meyakini bahwa setiap peristiwa yang terjadi, baik yang dijelaskan di dalam dua sumber hukum maupn yang yang tidak dijelaskan pasti ada hukumnya. Sebagian hukum dapat dilihat secara jelas dalam nash syara’ namun sebagian lain tidak jelas. Dengan konsep mumatsalah peristiwa yang tidak jelas hukumnya itu dapat disamakan hukumnya dengan peristiwa yang jelas dan ada hukumnya dalam nash. Usaha meng-istinbath dan penetapan hukum yang menggunakan metode penyamaan ini disebut ulama ushul dengan qiyas (analogi).




 

DAFTAR PUSTAKA


Abdullah,Sulaiman,Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar Grafika,2004
Qaradhawi ,Yusuf, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, Gema Insani Press. Jakarta, 2002.
Harun, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997

1 komentar:

  1. sekedar menginfokan,, bahwasanya isi dari blog ini merupakan tugas kuliah dan hoby semata...

    BalasHapus

 

Sample text

Sample Text

Sample Text